PENCERAHAN DARI BP. DANIEL PANE :
Pada umumnya tanda salib hanya 2 kali dalam Misa yaitu saat Tanda Salib
di awal Misa dan berkat penutup. Ditambah dengan 3 tanda salib kecil
dalam dialog yang mengawali bacaan Injil, serta jika pemercikan air suci
diadakan. Di luar itu tidak perlu ada tanda salib.
Sesudah menerima Hosti, dan selama berdoa pribadi di Misa tidak perlu
membuat Tanda Salib, karena seluruh Misa dari awal sampai akhir itu
adalah satu rangkaian doa yang panjang. Doa dimulai saat Tanda Salib di
awal dan diakhiri dengan berkat. Mungkin perlu diberi keterangan bahwa
tidak perlu tidak sama artinya dengan tidak boleh.
Kebiasaan para Imam yang membuat tanda salib dalam khotbah, adalah
kebiasaan warisan zaman dulu, ketika biasanya khotbah diletakkan sebelum
atau sesudah Misa dimulai (kebiasaan yang cukup umum sebelum Vatikan II
dan diadakan dengan alasan praktis misalnya lebih bebas memilih
tema-tema khotbah). Karena khotbah diletakkan di luar Misa maka biasanya
diawali dan diakhiri dengan tanda salib bahkan juga dengan doa
pembukaan dan penutup sendiri. Kebiasaan ini terbawa-bawa sampai
sekarang dan seringkali diikuti begitu saja oleh Imam-imam yang lebih
muda (yang tidak pernah mengalami masa-masa itu).
PENCERAHAN DARI PASTOR ZEPTO PR :
Tentang TANDA SALIB dlm Perayaan Ekaristi.
Tanda salib PUBLIK yg dibuat oleh pemimpin (disertai ajakan publik)
hanya DUA kali. Inilah tanda yg membuka dan mngakhiri ibadah.
Selain itu, pemimpin PE juga membuat tanda salib berkat (pada diakon
sebelum mbacakan Injil), pada Evangeliarum, dan ketika Epiklesis dalam
DSA. Khusus dlm DSA I, pada bagian tertentu imam membuat tanda salib
pada dirinya sendiri (ketika mendoakan kata2: ...dipenuhi dengan segala
berkat dan rahmat....).
Ada juga Tanda salib yg mrupakan SALAH KAPRAH. Artinya, tanda salib yg
dipakai sdemikian meluas dari masa2 lampau padahal sebetulnya KURANG
SESUAI dgn rubrik2 dlm buku liturgi resmi, lalu oleh sebagian besar umat
dianggap 'itulah yg benar'.
Beberapa di antaranya:
A. Imam membuat 'tanda salib absolusi' pd bagian akhir ritus tobat
(padahal pd bagian tsb TIDAK terjadi absolusi sakramental). Umat ikut2an
men'jawab'nya dgn tanda salib juga. Bahkan ketika imam tidak lagi
menyertakan 'berkat absolusi' tsb pd formula doa, toh (ada) umat buat
tanda salib juga. "Sudah biasa, terasa puas lagi," kata mereka. Hehehe
B. Tanda salib mengawali dan menutup homili. Baik dengan maupun tanpa
ajakan imam, toh umat tetap membuat tanda salib. Dalam buku Tata
Perayaan Sabda, jelas2 ditulis pd rubrik: 'homili tidak dibuka dan
ditutup dgn tanda salib'. Why? WKarena tanda salib tsb membentuk nivo
bhw seolah-olah ada ibadah dalam ibadah.
C. Ketika air akan dicampurkan pd anggur, ada imam/diakon yg membuat
berjat pd air. Pd konsekrasi roti, juga anggur, umat sering mbuat tanda
salib yg tak ada dlm ritus resmi.
PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :
Agar tidak melahirkan "perasaan berdosa" karena pengertian benar dan salah yang berlebihan, bisa kita rumuskan begini:
Dalam satu kali Misa Kudus diawali dan diakhiri dengan "tanda salib".
Artinya di tengah itu sebenarnya masih dalam suasana Misa kudus, dan
dengan demikian sebenarnya tidak diperlukan tanda salib baru, karena
misanya tidak ada pause.
Nah, dari rumusan tidak perlu - maka artinya kalau dibuat itu tidak
menambah apa-apa, malahan salah-salah membuat kita salah mengerti dan
menghayati misa kudus sebagai kesatuan utuh.
Nah, apakah dilarang membuat tanda salib di luar yang dua itu? Yah
dilarang sih tidak, berdosa juga tidak .... tapi tidak perlu. Maka
karena tidak perlu ... ya sebenarnya tidak perlu ditiru dan dianjurkan
(walau tidak sama, tetapi mungkin bisa kita bandingkan apakah saat
sedang makan dilarang makan snack? atau dilarang pakai garpu dua?
Dilarang ya tidak, apalagi berdosa ya gak seberat itulah tapi kan ya gak perlu dan tidak banyak guna dan manfaatnya.
Kalau mau lihat buah negatifnya ya ANEH saja. :-)
Kredit: seputarliturgimisa